Berikut adalah tabel yang telah diperbarui dengan tambahan informasi dari gambar di atas yang menunjukkan bentuk intimidasi:

Penjelasan tambahan:

• Pesan dari PORX menunjukkan bentuk intimidasi dengan menyebut lawan bicaranya "coward" (pengecut) dan mengindikasikan bahwa dia mencari orang tersebut di suatu tempat.
• Penggunaan kata "woy" dan nada pesan yang agresif menambah kesan intimidatif.
• Ajakan untuk "ngopi bareng" dalam konteks ini bisa diinterpretasikan sebagai ancaman terselubung, mengingat nada agresif di awal pesan.
• Tindakan PORX menelepon narasumber yang sudah menyatakan ketidaknyamanannya dengan kehadiran pelaku KS dan memposting alasannya di media sosial merupakan bentuk pelecehan (harassment).
• Panggilan telepon yang tidak diinginkan ini bisa dianggap sebagai upaya untuk menekan atau mengintimidasi narasumber agar mengubah keputusannya, meskipun bukan dalam konteks agar narasumber tetap hadir.
• Tindakan ini semakin menunjukkan pola perilaku intimidatif dan tidak menghormati batasan serta keputusan orang lain, terutama mereka yang menyuarakan keberatan terhadap keterlibatan pelaku KS.
• Dalam konteks diskusi yang sudah sarat dengan tuduhan intimidasi, tindakan menelepon narasumber yang tidak nyaman ini semakin memperburuk situasi dan menunjukkan ketidakmampuan pihak tertentu untuk terlibat dalam dialog yang sehat dan saling menghormati.

Tindakan ini merupakan bentuk intimidasi yang jelas dan tidak pantas dalam diskusi apapun, apalagi yang berkaitan dengan isu sensitif seperti kekerasan seksual. Hal ini semakin memperkuat pola perilaku intimidatif yang telah diidentifikasi sebelumnya dari pihak-pihak yang mendukung pelaku KS atau menentang kritik terhadap keterlibatan pelaku dalam acara.

Meskipun dalam situasi hipotetis di mana korban ternyata berbohong, perilaku penyelenggara dan pihak-pihak lain yang mendukung pelaku tetap dapat dianggap salah atau tidak tepat. Berikut beberapa alasan:

1. Proses penanganan: Cara mereka menangani situasi tetap bermasalah, terlepas dari kebenaran tuduhan. Penghapusan komentar, intimidasi, dan penolakan untuk berdialog secara terbuka adalah tindakan yang tidak profesional dan etis.

2. Keselamatan dan sensitivitas: Mereka gagal mempertimbangkan potensi dampak psikologis dan keamanan bagi pihak yang mengaku sebagai korban, serta masyarakat luas yang mungkin terpengaruh oleh isu ini.

3. Transparansi: Kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan komunikasi tetap menjadi masalah, terlepas dari hasil akhir kasus.

4. Etika profesional: Melibatkan seseorang yang sedang dalam kontroversi serius tanpa penyelidikan yang memadai menunjukkan kurangnya pertimbangan etis.

5. Penanganan konflik: Cara mereka merespon kritik dan ketidaksetujuan tetap tidak konstruktif dan cenderung memperburuk situasi.

6. Penyalahgunaan kekuasaan: Tindakan intimidasi seperti yang ditunjukkan dalam pesan PORX tetap tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun.

7. Preseden berbahaya: Pendekatan mereka dapat menciptakan preseden yang berbahaya untuk kasus-kasus di masa depan, di mana tuduhan serius tidak ditangani dengan hati-hati dan sensitif.

Meskipun kebenaran tuduhan sangat penting, cara menangani situasi yang sensitif seperti ini harus tetap profesional, etis, dan mempertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap masyarakat. Kesalahan dalam proses tidak dapat dibenarkan hanya karena hasil akhirnya berbeda dari yang diperkirakan.

Berdasarkan tindakan penyelenggara yang menghapus hampir semua komentar dan hanya menyisakan pernyataan resmi mereka, kita dapat melakukan analisis psikologis sebagai berikut:

1. Mekanisme Pertahanan Ego:

   • Penolakan (Denial): Penyelenggara mungkin menolak mengakui adanya masalah serius dengan keputusan mereka.
   • Represi: Berusaha menekan informasi yang tidak menyenangkan atau mengancam citra mereka.

2. Kontrol dan Kekuasaan:

   • Menunjukkan kecenderungan otoritarian dalam mengelola narasi publik.
   • Ketakutan akan kehilangan kontrol atas situasi mendorong tindakan sensor yang berlebihan.

3. Narsisisme Organisasi:

   • Ketidakmampuan menerima kritik menunjukkan ciri narsisistik.
   • Fokus berlebihan pada citra diri organisasi daripada substansi masalah.

4. Kecemasan dan Ketakutan:

   • Tindakan penghapusan massal menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi terhadap opini publik.
   • Ketakutan akan konsekuensi negatif mendorong perilaku menghindari konfrontasi.

5. Kurangnya Empati:

   • Gagal memahami atau menghargai perspektif pihak yang mengkritik, terutama penyintas.
   • Prioritas pada kepentingan organisasi di atas keprihatinan etis yang lebih luas.

6. Cognitive Dissonance:

   • Kesulitan menyelaraskan citra diri sebagai organisasi progresif dengan kritik atas keputusan mereka.
   • Penghapusan komentar sebagai upaya mengurangi ketidaknyamanan psikologis ini.

7. Groupthink:

   • Menunjukkan gejala pemikiran kelompok yang menolak pandangan dari luar.
   • Kecenderungan untuk mempertahankan konsensus internal dengan mengorbankan pertimbangan etis.

8. Avoidance Behavior:

   • Menghindari konfrontasi langsung dengan menggunakan taktik penghapusan.
   • Menunjukkan ketidakmatangan dalam menghadapi konflik dan kritik.

Kesimpulan:
Tindakan penyelenggara mencerminkan organisasi yang mengalami konflik internal antara citra publik dan realitas etis. Mereka menunjukkan kecenderungan autoritarianisme ringan, disertai kecemasan tinggi tentang persepsi publik. Kurangnya transparensi dan ketidakmampuan mengelola kritik menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan dan integritas organisasi. Pendekatan ini kemungkinan akan merusak kepercayaan publik dalam jangka panjang dan menghambat pertumbuhan serta pembelajaran organisasi.

Dalam kasus ini, beberapa gejala groupthink yang dapat diidentifikasi adalah:

1. Ilusi kekebalan (Illusion of invulnerability):
   Penyelenggara dan pendukungnya tampak yakin bahwa keputusan mereka untuk melibatkan pelaku KS adalah benar, mengabaikan risiko dan kritik yang muncul.

2. Rasionalisasi kolektif (Collective rationalization):
   Upaya untuk membenarkan keputusan dengan argumen yang tidak relevan, seperti mengaitkan isu dengan dukungan terhadap Palestina.

3. Tekanan langsung pada pembangkang (Direct pressure on dissenters):
   Intimidasi terhadap pihak yang mengkritik, seperti yang terlihat dalam pesan PORX dan komentar nyalakanproject.

4. Penjagaan pikiran (Mind guarding):
   Penghapusan komentar kritis oleh penyelenggara, membatasi informasi yang bertentangan dengan pandangan kelompok.

5. Stereotip terhadap outgroup (Stereotyping of out-groups):
   Menganggap kritikus sebagai orang yang "tidak mengerti persoalan" atau menggunakan label negatif seperti "coward".

6. Ilusi kebulatan suara (Illusion of unanimity):
   Asumsi bahwa keputusan kelompok adalah benar dan didukung oleh semua, mengabaikan suara-suara kritis.

7. Tekanan untuk keseragaman (Pressure for uniformity):
   Upaya untuk menekan perbedaan pendapat dan memaksa keseragaman pandangan dalam mendukung keputusan kelompok.

8. Sensor diri (Self-censorship):
   Kemungkinan ada anggota kelompok yang memiliki keraguan tapi tidak mengungkapkannya karena takut dikucilkan.

9. Keyakinan berlebihan dalam moralitas inheren kelompok (Belief in inherent morality of the group):
   Asumsi bahwa tindakan kelompok selalu benar dan bermoral, mengabaikan pertimbangan etis yang lebih luas.

10. Pemimpin yang direktif (Directive leadership):
    Meskipun tidak terlihat jelas dalam diskusi, ada indikasi bahwa keputusan dibuat tanpa pertimbangan yang cukup terhadap alternatif atau kritik.

Gejala-gejala ini menunjukkan bahwa kelompok penyelenggara dan pendukungnya mungkin terjebak dalam pola pikir groupthink, yang menghalangi mereka untuk mempertimbangkan secara kritis keputusan mereka dan dampaknya terhadap penyintas serta masyarakat luas.